Kasus Pemerkosaan Bergilir Di Tangerang, Keadilan Mandek, Dugaan Penyalahgunaan Wewenang.

07/03/2025 09:21
Array
banner-single

Liputan45 Com Tangerang – Nasib tragis menimpa DM (15), seorang remaja putri yang menjadi korban kebiadaban sekelompok pelaku di Badak Onom, Kabupaten Tangerang, Banten. Kekerasan seksual yang dialaminya tidak hanya meninggalkan trauma mendalam, tetapi juga mengungkap lemahnya penegakan hukum dalam melindungi anak di bawah umur. Mirisnya, meski kasus ini telah dilaporkan ke Polresta Tangerang, proses hukum terkesan berjalan lamban dan setengah hati. Orang tua korban, SN, kini menuntut keadilan dan mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk segera menangkap serta mengadili semua pelaku tanpa pandang bulu.

Kasus ini bermula pada malam Minggu, 17 November 2024, ketika DM berpamitan kepada SN untuk menginap di rumah temannya. Namun, sekitar pukul 02.00 WIB, SN menerima telepon panik dari putrinya yang berteriak meminta tolong. “Mama, minta tolong, pokoknya tolong mama!” ujar SN menirukan ucapan putrinya. Awalnya, DM mengaku menjadi korban begal di daerah Badak Onom. Namun, setelah bertemu dengan keluarganya, DM akhirnya menceritakan kejadian sebenarnya.  

DM menerima ajakan AN untuk nongkrong setelah sebelumnya sempat menolak karena tidak ada teman perempuannya yang ikut. Awalnya, DM merasa curiga, namun AN berhasil meyakinkannya dengan mengirimkan foto yang menunjukkan keberadaan perempuan lain. Setelah itu, AN menjemput DM dan membawanya ke rumahnya di Badak Onom. Sesampainya di lokasi, DM terkejut karena tidak melihat teman perempuannya, melainkan hanya sekelompok laki-laki yang sedang berkumpul. DM sempat diminta masuk oleh AN, tetapi ia menolak. Tak lama kemudian, seorang teman perempuannya datang, sehingga DM merasa lebih nyaman dan akhirnya masuk ke dalam rumah AN bersama temannya. Setelah beberapa saat, AN mengajak DM berpindah lokasi. Namun, di tengah perjalanan, DM justru dibawa ke tempat lain tanpa ditemani oleh teman perempuannya.

Ditempat itu DM dihadapi oleh sekitar 20 laki-laki, di antara mereka terdapat AI dan FI, dua sosok yang sebelumnya telah memperkosanya. Rasa takut langsung menyergapnya. DM berusaha menolak, meminta pulang, dan menjauh dari kerumunan, tetapi usahanya sia-sia. Tiba-tiba, seseorang berinisial BI mendekatinya dan tanpa peringatan, membekapnya dari belakang. Dalam hitungan detik, DM dipaksa berbaring, sementara celananya ditarik paksa. Dengan mata dan mulut yang ditutupi, ia berjuang melawan sekuat tenaga. Namun, perlawanan itu tak cukup untuk menghentikan para pelaku yang secara bergiliran melakukan tindakan biadab mereka.

Aksi tersebut sempat terhenti saat ada kendaraan melintas, dan DM berusaha kabur dan berteriak minta tolong. Namun, ia kembali tertangkap oleh pelaku berinisial FI. Terakhir, DM ditemukan di dekat kandang bebek oleh Ketua RT setempat, yang kemudian menegur para pelaku dan menyelamatkan korban.  

SN, orang tua korban, yang didampingi oleh seorang oknum pengacara, melaporkan kejadian ini ke Polresta Tangerang. Dalam pemeriksaan, terungkap bahwa sebelumnya DM juga menjadi korban aksi serupa yang dilakukan oleh tujuh pelaku. Mereka memberinya minuman hingga tidak sadarkan diri, yang kemudian berujung pada kondisi di mana DM merasakan sakit saat buang air kecil serta ditemukan lendir pada celana dalamnya.

Dengan harapan agar keadilan ditegakkan, keluarga korban mempercayakan kasus ini kepada pihak kepolisian. Pada awalnya, aparat kepolisian menunjukkan respons cepat dengan menangkap beberapa pelaku. Namun, kejanggalan muncul dalam proses penyelidikan. Penyidik tampak lebih berfokus pada kejadian sebelumnya, sementara kasus kedua yang terjadi pada 17 November justru diabaikan.

“Kami ingin tahu, kenapa hanya kejadian pertama yang diproses? Kenapa kejadian kedua yang jelas-jelas melibatkan lebih banyak pelaku malah tidak disentuh?” Tegas ibu korban

Peristiwa tragis sebelumnya terjadi pada 3 Oktober 2024, bermula dari sebuah status WhatsApp yang diunggah oleh DM dengan tulisan “main”. Status tersebut kemudian mendapat respons dari inisial AI, yang mengajak DM untuk bertemu dengan singkatnya mengatakan, “Ayo.” Tanpa menaruh curiga, DM menerima ajakan tersebut dan bertemu dengan AI serta beberapa rekannya di sebuah warung Madura. Setelah pertemuan awal, kelompok ini mengajak DM berpindah lokasi ke sebuah gubuk di tengah sawah. Di tempat tersebut, DM dipaksa untuk meminum alkohol hingga kehilangan kendali atas dirinya. Situasi pun semakin mencekam ketika DM disekap dan menjadi korban pemerkosaan secara bergiliran oleh tujuh laki-laki. Di antara para pelaku yang dikenali oleh DM terdapat FI, AI, BI, AT, dan AN, sementara dua pria lainnya tidak dikenal olehnya.

Hingga saat ini, polisi baru menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dan menahan tiga orang. SN merasa kecewa dengan proses hukum yang berjalan lambat dan berharap semua pelaku segera ditangkap dan dihukum setimpal. “Saya hanya ingin keadilan untuk putri saya. Masa depannya sudah hancur karena perbuatan mereka,” ujar SN dengan suara lirih.  

Keanehan dalam penanganan kasus ini tidak berhenti di situ. Saat proses hukum berjalan, sekitar lima orang perwakilan keluarga pelaku mendatangi rumah SN dan menawarkan “damai” dengan imbalan Rp 40 juta, syaratnya adalah pencabutan laporan. Dalam kondisi tanpa pemahaman hukum yang memadai dan ketidaktahuan akan proses hukum yang seharusnya, orang tua korban akhirnya menandatangani surat pernyataan tersebut.

Lebih mengejutkan lagi, menurut keterangan orang tua korban, salah satu perwakilan keluarga pelaku menyebut bahwa kasus ini telah “beres” dan ditangani oleh seorang jenderal bintang satu. Pernyataan tersebut seakan-akan digunakan untuk menakut-nakuti keluarga korban yang tidak memahami seluk-beluk hukum. “Udah Bu, kasus ini sudah beres, dan pihak kepolisian sudah dipanggil oleh jenderal bintang satu,” ujar salah satu perwakilan keluarga pelaku, sebagaimana ditirukan oleh ibu korban.

Namun, yang paling mencengangkan adalah bagaimana uang Rp 40 juta tersebut dibagi. Dari jumlah tersebut, Rp 5 juta diduga diminta oleh penyidik berinisial GI dengan dalih sebagai biaya operasional kasus. Sementara itu, Rp 35 juta lainnya diambil oleh seorang oknum pengacara dengan alasan untuk memperkuat posisi hukum dalam persidangan.

Kasus ini menjadi cerminan suram dari lemahnya sistem peradilan dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum penyidik dan oknum pengacara semakin menambah buruk citra penegakan hukum di negeri ini.  

Kini, harapan terakhir keluarga DM terletak pada keberanian aparat hukum yang masih memiliki nurani untuk membuka kembali kasus ini dan memastikan semua pelaku mendapat hukuman setimpal. Jika keadilan bisa dibeli dengan uang, lantas apa arti hukum bagi korban yang telah kehilangan segalanya? ( RE ).

Rekomendasi Anda

BANNER-ATAS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terkini Lainnya